Wednesday, October 26, 2011

Strategi KPU dalam menghadapi sengketa pemilukada





Pedahuluan
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seacara normatif dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 disebutkan bahwa “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Kemudian terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat dengan Pilkada ataupun Pemilukada juga  merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin di daerah, Deangan harapan dapat menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat pemilihnya.
.
Dilain pihak Kondisi ini (pemilihan langsung) juga pada kenyatannya sangat rentan terjadinya pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan oleh Peserta Pemilu ataupun Penyelenggara Pemilu, .Untuk menghadapi situasi ini diperlukan suatu cara atau stategi untuk penanganan sengketa yang muncul dalam pelaksanaan pemilu dan pemilukada.
Dasar Hukum Penanganan Sengketa Pemilu
Secara yuridis formal penanganan sengketa pemilu dan pemilukada merupakan  kewenangan Mahkamah Konstitusi,  Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junctis Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 12 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menentukan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung telah dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi. Konkritnya pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili masalah pemilu sebagai pelaksanaan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tersebut.

Sengketa Pemilukada
Pada mulanya istilah yang dipakai untuk Pemilihan Kepala Daerah adalah Pilkada, dan  dalam perkembangan selanjutnya disebut Pemilukada. Berkaitan dengan sengketa pada Pemilukada tersebut , sebenarnya dapat dibagi lagi, yakni pertama, sengketa antar peserta pemilu dan kedua, sengketa peserta dengan Penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sengketa antar peserta pemilukada yakni, calon kepala daerah yang satu dengan yang lain diselesaikan melalui Bawaslu, dalam hal ini Bawaslu Daerah. Ini berdasarkan legitimasi dari Peraturan Bawaslu RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sementara, sengketa antara peserta pemilu dengan KPU, dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) jenis pula, yakni sengketa selain putusan hasil pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Bila sengketa tersebut berkenaan dengan selain putusan hasil pemilu, maka tempat penyelesaiannya adalah Mahkamah Agung, dalam hal ini PTUN. Namun bila berkaitan dengan sengketa (perselisihan) hasil pemilu, maka yang berwenang adalah Mahkamah Konstitusi. Bergesernya bandul kekuasaan mengadili sengketa pemilukada yang sebelumnya pada Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, serta hasil perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ditahun 2008.
Strategi KPU dalam menyelesaikan Sengketa di MK
Dalam rangka melaksanakan kewenangannya terutama dalam hal penanganan sengketa Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Mahkamah Konstitusi menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dalam ketentuan umum Peraturan Mahakamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tersebut menyatakan bahwa Pemilihan Umum Kepala Daerah, yang selanjutnya disebut Pemilukada, adalah pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian Peradilan perselisihan hasil Pemilukada tersebut bersifat cepat dan sederhana, sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 sebagaiman telah dikemukan di atas, bahawa KPU harus memahami dengan baik sebagai Penyelenggara Pemilukada untuk menghadapi kemungkinan adanya potensi sengketa pemilu dan pemilukada, Untuk menghadapi potensi sengketa pemilu dan pemilukada dapat dilakukan tindakan preventif berupa pengawasan dan supervisi dalam setiap tahapan pemilukada yang dilakukan oleh KPU setingkat diatas, dapat pula dilakukan advokasi dan bimbingan teknis dalam setiap penyusunan keputusan KPUD di setiap tahapan.
Dalam hal perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah di ajukan ke Mahkamah Konstitusi maka KPU dan KPUD dapat bekerjasama menyiapkan bahan eksepsi atau tangkisan atas permohonan yang di ajukan oleh pihak pemohon. Secara umum Eksepsi tersebut haruslah memperhatikan :
1.    Kedudukan hukum (legal standing), baik pemohon maupun lembaga peradilannya.
2.    Objek Permohonan, apakah permohonan yang diajukan adalah merupakan objek sengketa pemilukada ataukah bukan.
3.    Saksi, KPU dan KPUD harus dapat mengenali siapakah orang yang ditunjuk sebagai saksi oleh pemohon dan keterlibatannya dalam perkara aquo serta menyiapkan saksi pendukung.
4.    Bukti, KPU dan KPUD harus dapat memastikan bahwa bukti yang diajukan pemohon adalah bukti yang sebenarnya dan dapat mengenali bukti yang diajukan tersebut mengenai ke absahannya, serta menyiapkan bukti otentik dalam perkara aquo.

Penutup
Secara Konstitusional atau berdasarkan UUD 1945, bahwa peradilan harus menganut secara seimbang asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas manfaat, sehingga dalam hal ini MK sebagai badan peradilan hukum (court of law) tidak dapat dipasung hanya oleh bunyi undang-undang melainkan juga harus menggali rasa keadilan dengan tetap berpedoman pada makna substantif undang-undang itu sendiri. Untuk menggali rasa keadilan ini, maka MK memiliki beberapa alternatif yang harus dipilih untuk memutus suatu perkara yaitu:
1. MK dapat menyatakan Pilkada batal demi hukum (void ab initio) sejak semula;
2. MK dapat menyatakan Keputusan KPUD tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Calon Terpilih batal, sekaligus menyatakan Calon lain yang berhak (mis: Pemohon);
3. MK dapat menyatakan Keputusan KPUD tentang Hasil Penghitungan Suara Putaran I atau Putaran II batal, dan menyatakan Termohon (misalnya) tidak berhak ikut ke Putaran II atau dalam Pilkada Ulang, sehingga hasil yang dihitung adalah pemungutan suara Putaran I di luar keikutsertaan Pihak  yang dipersalahkan;
4. MK dapat menyatakan bahwa Pilkada cacat yuridis, maka harus dilakukan pemungutan suara ulang pada semua tingkatan (Kabupaten/Kota/ Kecamatan/ Kelurahan/Desa);
Harus dipertimbangkan pula bahwa semua pilihan (putusan) sebagaimana diuraikan di atas memiliki kelemahan dan risiko, akan tetapi MK harus memilih untuk berpegang pada moralitas konstitusi dalam UUD 1945 untuk menghindari sinisme akibat ketidakjelasan arah demokrasi dengan rangkaian kelalaian atau kesengajaan yang ada di hadapan MK.
Terkait dengan kewenangan dan pelaksanaan kewenangan dalam melaksanakan dan mengawal demokrasi, tentunya harus dikawal dengan sanksi yang cukup efektif untuk mencegah terjadinya kemunduran dalam tahap demokratisasi untuk bisa sampai pada tahap akhir transisi politik di Indonesia secara adil, damai, jujur, dan bersih. Diharapkan melalui aplikasi asas proporsionalitas, maka kelalaian yang menimbulkan kondisi yang tidak lagi dapat ditolerir tersebut dapat dievaluasi dan dinilai oleh MK serta diputus dengan alternatif yang sesuai dengan tugas dan fungsi MK;


                                                                                     

No comments: